Sepenggal
Rindu
Di bangku ini,
Kadangkala kenangan ikut terduduki.
Sewaktu luapan kerinduan nyaris seperti kebun tak
berhalaman
Lalu membentuk sungai yang pernah mengalirkan arus
perasaan.
Tajam hujan yang jatuh hingga selokan
Aku memilih menetek rindu di kamar berjam-jam
Memutar waktu yang tak kuasa mempercakapkan sesiapa saja
selain tentang rentang ingatan, karam rembulan serta yang
bergembira di peluk subuh;
lalu berebut mencium telapak kakimu.
Telapak kaki yang aku sebut
surga:
Sejujurnya, aku sering
berharap dapat kembali ke masa paling kanak-kanak
Sebab aku dapat menyusur di
dadamu; ketika percintaan sengaja mematahkan lengan hatiku.
Maka, bangku-bangku tempatku mengenyam senyum air matamu
Seperti jendela yang membuka dan terkatup sendiri
Lalu tiap waktu kuseduh rindu; meski kutahu tak akan
selezat putting susumu, ibu.
Sebelum
Sebelum sepertiga yang tua jatuh di bantal mimpimu
Aku ingin menjadi lagu nina
bobo di telingamu,
pelan-pelan aku seperti nada-nada, keluar masuk
membisikkan sesuatu
;jangan takut sama mimpi buruk, sayang.
Setiap malam, tanpa sepengetahuanmu
Aku mengintip mesin waktu. Sambil terus membayangkan
seseorang yang bersanding di tubuh engkau adalah aku. Biarpun barangkali agak
samar-samar; karena mataku kadang tak sanggup menatap bibir takdirmu. Sebab,
sudah berkali-kali aku melirik kitab kejadian; engkau diciptakan dari rusuk
kesepian; bukan sesuatu yang digambar punggung keinginan.
Kereta malam telah melaju;
Tetap di sepertiga yang hampir abu-abu; kusebut-sebut
namamu di efitaf ingatanku
Ranting-ranting jatuh, lalu dihitung daun-daun mataku
Tak ada air mata yang akan jatuh kali ini, sayang.
Karena kita tahu bahwa pohon kehidupan telah menuliskan;
bahagiamu-bahagiaku, airmatamu-airmataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar