FAM Indonesia ( Forum Aktif Menulis Indonesia )

FAM Indonesia ( Forum Aktif Menulis Indonesia )
Langkah Menjadi Penulis Profesional.

Minggu, 05 Mei 2013

Puisi Karya Refdinal Muzan

Selamat Pagi, Hujan

Selamat pagi, hujan.
Apakah cukup lelap tidurmu semalam?
Saat jendela dan pintu kamar yang terbuka, aku mendengar jejak langkahmu menyingsing matahari
Menguliti isi perut bumi, dan semakin meresap di sela pori waktu yang berlari

Engkau selalu hadir kala regang tandus menelantang
Memberikan sebuah bukti bila kasih masih mengucur
meski kemarau hati
Engkau tiada pernah tertinggal dalam selam bait puisi
meski berjuta rangkai kata telah mati
Engkau selalu datang untuk sebuah kenang
begitu membayang

Selamat pagi, hujan
Masihkan engkau menyisiri sebuah perjananan
Dalam tempuh yang kadang tidak kita tahu
orang-orang sekali waktu akan menghendakimu untuk hilang
kau selalu sabar atas sebuah rindu yang berpaling
atau terlupakan
Membelah jalanan berbatuan, menyusuri semedi lembah dan gunung-gunung, mengalir dan kembali ke haribaan

Selamat pagi, hujan
dalam aroma lembab udara yang masih kau sajikan
aku telah berubah menjadi awan

(4102012)


Bacakanlah Kekasih

Bacakanlah kekasih
Bacakanlah selafaz zikir yang membuatku sejuk
menempuh jalan
Semua telah kita berikan pada nasib
sebelum langit berceceran jadi atap yang tiris
Tak perlu lagi seteduh tempat tuk berlari
begitu telah kita lengkapi tahun-tahun yang jurang
menimbun tasik dari gundukan pasir di tangan
berpegangan ketika malam-malam
menjadi pedang yang memisahkan

Tak perlu membalut semua dengan tangis
Bujuran kaku, genggaman tangan telah menjadi unggun api di atas dataran sebuah lembah
saat "Auld lang Syne" semakin menghanyut di arus gitar
seperti dulu kupetik
sebelum cahaya kunang-kunang menayangkan dongeng-dongeng sebelum tidur

Inikah puntung terakhir yang kita padamkan
sebab gelap yang pekat masih saja menjadi daun-daun
menyemaikan embun
kulihat sebutir bintang begitu pasi dijerang mentari

Ya, kekasih. Bacakanlah
bacakanlah tentang sebuah rumah pohon di tepi pantai
Tempat dulu kau menghimbau saat aku terdampar
dengan sejuta luka
Puing demi puing berbetah kutambal
reruntuhan tak pernah menjadi akhir sebuah sudah
selalu kita tampik jenjang demi jenjang sebelum
puncak menara itu hadirkan titik semakin jelas di ketinggian
Kibaran anak-anak rambutmu semakin melayarkanku
helai demi helai

Jangan , kekasih
jangan kau baca sebuah nama di atas batu nisan
sebab seekor burung gagak yang tadi hinggap
telah melengkapi sebuah duka
untuk kembali terbang menukik cakrawala
menebarkan aroma sepenggal doa
yang kau bacakan

(21012013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar